Bagi seorang wanita mukminah, pernikahan adalah salah satu perwujudan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan sarana untuk mencapai keridhaan-Nya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Nikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka bukanlah termasuk golonganku. Menikahlah, karena aku akan bangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat lain di hari kiamat. Barangsiapa yang telah memiliki modal, hendaklah ia menikah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu penekan hawa nafsunya” (HR. Ibnu Majah).
Jika seseorang meniatkan di awal pernikahannya sebagai satu niat untuk beribadah kepada-Nya, meninggalkan zina, dan mendekatkan diri kepada-Nya; maka dia akan memperoleh pahala sesuai dengan apa yang ia niatkan itu. Sebaliknya, jika ia mempunyai niat di awal pernikahannya hanya sekedar untuk mencari harta, pangkat, kedudukan, atau popularitas; maka ia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Bahkan dosa jika yang ia niatkan tersebut merupakan maksiat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat dan seseorang hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tanggung Jawab Istri pada Diri Sendiri
Diantara tanggung jawab istri kepada diri sendiri diantaranya adalah :
1. Menuntut ilmu syar’i
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah)
Yaitu :
- Ilmu tentang prinsip-prinsip ‘aqidah dan keimanan (Rukun Iman)
- Ilmu tentang apa-apa yang diwajibkan dalam rukun Islam, seperti syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji.
- Ilmu-ilmu penunjang yang bermanfaat lainnya.
Seorang ibu rumah tangga wajib mengetahui tentang pembatal-pembatal syahadat, wajib mengetahui bagaimana cara thaharah dan sholat yang benar, dan yang lain sebagainya. Tidak boleh terjadi pada seorang ibu bahwa ia tidak mengetahui tentang hukum-hukum haidh, padahal haidh adalah sesuatu yang rutin mendatanginya.
Bagaimana seorang ibu rumah tanga bisa menuntut ilmu di sela-sela kesibukannya mengurus rumah tangga ? Hal yang pertama bahwa ia harus menumbuhkan perasaan butuh dan cinta kepada ilmu. Jika seseorang telah mampu menumbuhkan perasaan itu pada dirinya, maka ia akan memanfaatkan semua kesempatan dimana ia bisa memperoleh ilmu, baik dalam majelis-majelis ilmu atau membaca buku-buku. Dalam seminggu, usahakanlah untuk dapat bermajelis ilmu minimal satu kali. Bisa ia menghadiri majelis-majelis ilmu secara khusus, atau bermajelis dengan suaminya untuk saling membacakan satu pembahasan dalam buku agama. Selain itu, ia bisa memanfaatkan beberapa waktu luang dengan membaca buku agama saat kesibukan belum menderanya, misalnya 15 – 20 menit sebelum sholat shubuh;atau 15 – 20 menit setelah ‘isya’ di saat anak-anak telah tidur di pembaringannya.
2. Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh.
Adalah menjadi hal yang mutlak lagi wajib untuk mengamalkan ilmu. Amal adalah buah ilmu. Barangsiapa yang berilmu namun tidak beramal, ia laksana tumbuhan yang tidak memberikan manfaat bagi makhluk hidup di sekitarnya. Ilmu bisa menjadi pembela atau malah jadi bencana bagi diri kita sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
“Al-Qur’an itu bisa menjadi pembela bagimu atau menjadi bencana bagimu” (HR. Muslim)
Contoh mudah yang bisa kita lakukan adalah ketika kita tahu bagaiamana cara wudhu yang benar dari penjelasan Ustadz atau hasil membaca buku; maka dengan tidak menunda-nunda kita praktekkan pada diri kita jikalau mau melaksanakan sholat. Jika kita tahu tentang bahaya syirik, maka dengan segera kita bersihkan diri dan rumah tangga kita dari hal-hal yang berbau syirik seperti membuang segala macam jimat, rajah, gambar makhluk hidup, atau benda pusaka keramat peninggalan leluhur (yang tentunya harus dikomunikasikan secara bijaksana dengan suami). Dan yang lain sebagainya.
Tanggung Jawab Istri pada Suami
Tanggung jawab istri kepada suami terkait erat dengan pemenuhan hak-hak suami oleh istri. Harus menjadi satu pemahaman bahwa seorang laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Seorang suami adalah pemimpin bagi istri dan anak-anaknya di rumahnya. Allah swt berfirman : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (QS. An-Nisaa’ : 34).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menggambarkan keagungan hak suami yang harus dipenuhi oleh istrinya dengan sabdanya : “Gambaran hak suami yang harus dipenuhi oleh istrinya adalah seandainya pada kulit suaminya itu ada borok (luka), lalu dia (istri) menjilatinya, maka dia belum benar-benar memenuhi hak suaminya” (HR. Ibnu Abi Syaibah 4/2/303 no. 17407; hasan ).
“Seandainya aku boleh menyuruh seorang manusia untuk bersujud kepada manusia lainnya, niscaya akan aku suruh seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya” (HR. At-Tirmidzi).
Ketaatan istri kepada suaminya merupakan salah satu faktor yang akan membawanya masuk surga. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jika seorang wanita mengerjakan sholat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya : ‘Masuklah ke dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau sukai” (HR. Ibnu Hibban , shahih).
Beberapa kewajiban istri yang harus dipenuhi kepada suaminya antara lain adalah :
1. Patuh kepada perintah suami
Hushain bin Mihshan mengkisahkan : Bahwasannya bibinya pernah mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasalam untuk satu keperluan. Setelah menyelesaikan keperluannya, maka Nabi berkata kepadanya : ‘Apakah engkau bersuami ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau melanjutkan : ‘Bagaimana sikapmu terhadapnya ?’. Aku menjawab : ‘Aku tidak pernah membantahnya/menolaknya kecuali pada perkara yang tidak sanggup aku lakukan’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Maka perhatikanlah sikapmu terhadapnya, karena sesungguhnya dia (suamimu) adalah surga dan nerakamu” (HR. Ahmad).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang model wanita yang paling baik, maka beliau menjawab : “Dia dalah seorang wanita yang patuh saat suaminya menyuruhnya, menarik saat suaminya memandangnya, menjaga kemuliaan suami dengan memelihara kehormatannya sendiri, dan mengurus harta suami” (HR. An-Nasa’i ,shahih).
Catatan : Taat ini dengan syarat : Hanya dalam hal yang ma’ruf bukan dalam kemaksiatan.
“Tidak ada ketaatan dalam perbuatan maksiat kepada Allah. Ketaatan hanya boleh dilakukan dalam kebaikan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, seorang istri tidak boleh taat kepada suaminya jika ia menyuruh untuk membuka jilbab, menemani seorang laki-laki yang bukan mahram tanpa ada suaminya, berbohong, dan lain-lain. Namun bukan pula berarti ia membatalkan ketaatannya secara keseluruhan. Ia tetap wajib taat pada hal-hal yang mubah dan yang disyari’atkan.
2. Tetap tinggal di rumah dan tidak keluar rumah kecuali setelah mendapat ijin dari suami.
Allah berfirman : “Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu” (QS. Al-Ahzab : 33).
Tinggal di dalam rumah adalah hukum asal bagi seorang wanita. Ia tidak boleh keluar melainkan dengan sebab dan syarat. Sebabnya adalah karena hajat, dan syaratnya adalah ijin dari suami, berpakaian syar’i, tidak memakai wangi-wangian, dan yang lainnya (yang akan dijelaskan kemudian).
Untuk hal-hal yang sifatnya rutinitas dimana ia telah mendapatkan ijin dari suami secara umum, maka ia boleh keluar tanpa seijin suaminya (walau meminta ijin tetap lebih baik). Misalnya : keluar rumah untuk belanja di warung, menyapu halaman, dan lainnya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan salah satu sebab mengapa wanita tinggal di dalam rumah : “Wanita itu adalah aurat. Apabila ia keluar rumah, maka akan dibanggakan oleh syaithan” (HR. At-Tirmidzi).
Hingga dalam permasalahan ibadah (sholat di masjid), rumah tetap lebih baik bagi seorang wanita, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Janganlah kalian melarang kaum wanita pergi ke masjid; akan tetapi sholat di rumah adalah lebih baik bagi mereka” (HR. Abu Dawud)
3. Menerima ajakan suami.
Ini hukumnya wajib. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun istrinya tersebut menolak (tanpa udzur yang dibenarkan syari’at) maka para malaikat akan melaknatnya hingga waktu shubuh tiba” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Tidak memasukkan seseorang ke dalam rumah kecuali dengan seijin suami.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya kalian (para suami) memiliki hak yang harus dipenuhi mereka (para istri), agar mereka tidak mengijinkan seorangpun masuk ke pembaringanmu seseorang yang tidak kamu sukai” (HR. Muslim).
“Dan janganlah seorang wanita mengijinkan seseorang masuk ke dalam rumah suaminya sementara dia (suami) ada di sana, kecuali dengan ijin suaminya tersebut” (HR. Muslim).
Larangan ini berlaku untuk orang-orang yang memang suaminya tidak meridhainya. Namun bila orang tersebut termasuk orang-orang yang diridhai – semisal kaum kerabat -, maka ia diperbolehkan menerimanya masuk ke rumahnya dengan tetap menjaga kehormatan dirinya. Jika orang/tamu tersebut laki-laki bukan termasuk mahram (semisal : teman kerja suami atau tetangga), maka ia diperbolehkan untuk menerima dengan catatan aman dari fitnah dan menghindari khalwat (berdua-duaan). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita kecuali bersama mahramnya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
5. Tidak bersedekah dengan harta suami kecuali mendapat ijin darinya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali seijin suaminya tersebut” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
6. Berterima kasih kepada suami dan tidak mengingkari kebaikannya, serta memperlakukan suami dengan baik.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak berterima kasih kepada suaminya, padahal ia tidak mungkin lepas dari ketergantungan padanya” (HR. Nasa’i)
Berterima kasih ini tidak hanya sebatas lisan, tapi terwujud pada penampakan rasa bahagia dan nyaman selama mendampingi suami dan melayani kebutuhannya dan kebutuhan anak-anaknya, tidak mengabaikannya, tidak mengeluh dengan segala kondisi yang dialami bersamanya, dan yang lainnya.
7. Tidak mengungkit-ungkit kebaikannya kepada suami, jika kebetulan dia menafkahi suami dan anak-anaknya.
Adakalanya seorang suami diberi cobaan berupa sakit, cacat, atau yang semisalnya sehingga ia tidak bisa memberi nafkah sebagaimana mestinya; yang dengan itu istri menjadi tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah. Haram hukumnya mengungkit-ungkit kebaikannya itu. Allah telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al-Baqarah : 264).
8. Selalu menjaga keutuhan rumah tangga dan tidak menuntut cerai tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wanita mana saja yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa ada masalah yang berarti (menurut kacamata syari’at), maka diharamkan baginya wangi bau surga” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah , Ahmad).
Dan ingatlah wahai para wanita bahwa engkau telah Allah jadikan salah satu perhiasan dunia. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah” (HR. Muslim).
Tanggung Jawab Istri pada Anak
1. Menyusui anak hingga usia dua tahun.
Allah swt berfirman: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al-Baqarah : 233).
2. Mengasuh, memperhatikan, dan memelihara anak dengan nafkah yang diberikan oleh suami.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan kepada Hindun radliyallaahu ‘anhaa: “Ambillah dengan baik (dari harta suamimu) sebatas mencukupi keperluanmu dan anakmu” (HR. Bukhari dan Muslim).
3. Mendidik anak dengan pendidikan yang baik dan Islami.
Hal utama yang harus diberikan dan diperhatikan adalah pendidikan agama, sebab pendidikan ini merupakan dasar yang akan membentuk tingkah laku anak di kemudian hari. Penanaman aqidah tauhid yang kuat adalah mutlak diberikan. Anak harus tahu kewajiban dan tugas mengapa ia dilahirkan di muka bumi, yaitu untuk beribadah kepada Allah semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Juga dengan penanaman prinsip-prinsip keimanan dalam rukun iman. Kemudian diikuti dengan penanaman kewajiban yang termasuk dalam rukun Islam yang lain seperti sholat, zakat, puasa, dan haji. Dari konsep pembangunan anak yang beriman dan beramal shalih, tentu saja harapan kita kelak ia menjadi sesuatu yang berharga yang dapat bermanfaat bagi kita di akhirat. Dan itulah yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:“Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu : shadaqah jariyyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim). Wallahu a’lam